MENGULAS "THE POST"
Gambar diambil di sini |
Pada
artikel sebelumnya, secara keseluruhan saya membuat review yang lebih berfokus pada konten traveling dan beberapa mengenai restaurant.
Tapi pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba untuk mengulas mengenai film.
Suatu tantagan baru yang cukup unik, karena jika dalam konten sebelumnya
penulis langsung merasakan dan dapat menceritakannya dengan leluasa. Namun yang
satu ini, saya hanya dapat melihat tanpa merasakan secara langsung atmosfer
dalam cerita.
The
post merupakan film ke 31 yang disutradarai oleh Steven Alan Spielberg dan
dirilis pada 12 januari 2018. Berawal dari Matthew Rhys sebagai Daniel Ellsberg
yang merupakan mantan pegawai pemerintahan dan mencuri dokumen rahasia dari
Rand Corporation mengenai pengiriman tentara Amerika ke Vietnam pada 1960-an.
Daniel membawa dokumen itu ke sebuah tempat yang merupakan ruang fotokopi dan
ditemani oleh dua orang temannya yang ikut membantu dalam pengcopyan dokumen
negara yang telah dicuri.
Merly
Streep yang berperan sebagai Kay Graham, yang diceritakan sebagai seorang wanita
yang telah ditinggal bunuh diri oleh suaminya yaitu Phil dan merupakan founder
atau penerbit pertama dari The Washington Post. Kay selalu memiliki pendapat
yang berbeda dengan Tom Hanks yang berperan sebagai Ben Bradlee dan menjabat
sebagai editor, pasalnya Kay yang memiliki keinginan untuk memberikan informasi
mengenai hal-hal yang baik, sedangkan Ben ingin sekali membuat The Washington
Post maju dan tidak hanya menjadi surat kabar lokal. Ia berfikir untuk memiliki
sesuatu yang berbeda dan dapat bersaing dengan kompetitornya.
Namun,
hal yang mengejutkan datang dari surat kabar The New York Times yang merupakan kompetitor
dari Kay. Dimana pada halaman utama surat kabar diberikan judul “Vietnam Archive : Pentagon Study Traces 3
Decades of Growing U.S. Involvement” yang ditulis oleh Neil Sheehan
memberikan arti mengenai penelitian Pentagon menelusuri 3 dekade pertumbuhan
keterlibatan Amerika Serikat. Banyak masyarakat yang berunjuk rasa dengan membawa
kertas dengan bertuliskan “Liar” ,”Bombing for peace is like fucking for
virginity”, dan lain sebagainya. Presiden Amerika Serikat melarang media cetak
The New York Times untuk menerbitkan hal yang bersangkutan dengan dokumen
rahasia yang dapat menimbulkan kekacauan.
Surat kabar The New York Times |
Masyarakat yang unjuk rasa |
Tidak
berhenti sampai disitu, tim dari The Washington Post tetap berjuang untuk mendapatkan
dokemen rahasia negara itu. Tetapi, keberuntungan hadir pada saat yang tepat.
Seorang wanita masuk ke dalam kantor dan memberikan kotak yang dibaluti dengan
kertas berwarna coklat kepada salah satu staff
yang bekerja sebagai reporter bagian umum. Wanita itu langsung bergegas pergi
meninggalkannya. Karena rasa penasaran terhadap isi dalam kotak yang telah dipegangnya
itu, bergegas ia langsung menuju ruangan Ben untuk memberikan kotak yang
berisikan dokumen rahasia yang sedang ia cari-cari.
KEBENARAN
YANG ABADI
Tidak
hanya itu, Bob Odenkirk yang berperan sebagai Ben Bagdikian dan menjadi bagian
dari tim The Washington Post juga berusaha untuk dapat menemukan penelitian
Pentagon. Dan pada akhirnya Ben Bagdikan menemui mantan pegawai pemerintahan
yang sempat mencuri dokumen rahasia negara. Daniel Ellsberg menjelaskan dalam
dokumen ini terdapat hal yang terselubung mengenai utang yang terjamin,
pemilihan yang dicurangi, dan semuanya ada pada berkas tersebut. Ike, Kennedy,
Johnson, mereka sebenarnya melanggar Konvensi Jenewa dan juga berbohong pada
Kongres serta publik.
Bagdikian
langsung bergegas membawa berkas tersebut menggunakan pesawat, dan ketika
sampai di kediaman Ben Bradlee, beberapa tim telah ada didepan pintu rumahnya
dan ketika Bagdikian datang, mereka semua bergegas membuka kardus yang
berisikan berkas yang lebih dari 4000 lembar. Setelah menghabiskan waktu yang
cukup lama untuk mengungkap kebenaran, seluruh staff menyambungkan telpon dengan Key dan mendesaknya untuk
mengizinkan penerbitan berita mengenai berkas yang telah didapatkan dengan
susah.
Ketika tim membuka kardus yang berisi 4000 lembar berkas |
Dengan
suara yang terbata-bata Key menjawab “ayo, ayo, lakukan”. “Ayo, ayo,
publikasikan”. Dengan waktu setengah jam yang diberikan kepada tim editorial
untuk dapat mengedit tulisan yang ada pada kertas yang telah diketik untuk
dipublikasikan. Seluruh mesin telah disiapkan untuk dapat mencetak surat kabar,
hanya tinggal menunggu keputusan bulat dari Kay agar dapat dicetak dan
disebarkan kepada para penjual koran.
Namun
tedapat masalah setelah berita tersebut dipublikasikan. The Washington Post
dipanggil ke pengadilan. Namun pada kenyataan, hasilnya diluar dari dugaan, seluruh
media cetak lainnya ikut membuat artikel yang sama dan artinya mereka mendukung
adanya kebebasan pers yang harus diberikan kepada media. Mahkama Agung
menyatakan bahwa hasilnya enam banding tiga dan The Washington Post unggul dari
The New York Times.
Media cetak yang ikut mendukung |
Film
yang berdurasi 115 menit ini menunjukan bagaimana media pada akhirnya saling
mendukung untuk mendapatkan kebebasan pers dengan adanya artikel megenai
Pentagon yang dipublikasikan secara rinci oleh The Washington Post dan
kredibilitas suatu berita menjadi kunci utama yang dilakukannya. Dimana aksi persaingan
antar media cetak juga dipertaruhkan agar tidak hanya menjadi surat kabar
lokal.
Film
The Post ini bisa dikatakan cukup menguras pikiran, karena mengangkat sejarah
yang kontroversial, diawali dengan cerita yang membosankan mengenai pencurian
dokumen dan berkaitan erat dengan jurnalistik sehingga membuat kita berpikir
lebih keras. So, bagaimana jika kebenaran berlawanan dengan suara hati? Apakah
kita akan mundur dari kebenaran? atau kita akan berpegang teguh pada kebenaran?
Apapun yang terjadi kita harus berpegang teguh pada kebenaran .kita tidak boleh terpengaruh oleh apapun kita harus mengatakan yang seberarnya terjadi .karena cepat atau lambat kebenarannya akan terungkap ,meskipun di sembunyikan seberapa lamanya .
BalasHapusTerima kasih Regina Pradipta Apsari atas komentar dan tanggapannya :)
Hapus